Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review dan Sinopsis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Menentang Adat Demi Kehidupan dan Cinta


Cover novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
Tanganhelra.com-Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini rilis oleh dua penerbit yang berbeda. Pertama, Tarian Bumi diterbitkan oleh penerbit Indonesia Tera pada tahun 2004. Kedua, diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007.

Seperti kampung halaman sang penulis, novel Tarian Bumi menggunakan Bali sebagai latar tempatnya. Bali sebagai daerah di Indonesia yang terkenal dengan destinasi wisata alamnya yang indah, juga kekentalan budayanya yang kaya.

Dalam novel Tarian Bumi terdapat beberapa isu yang ditekankan penulis dalam karyanya. Diantaranya tentang kritik terhadap sistem kasta di Bali dan sistem partriarki yang sangat kental dalam masyarakat.

Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini juga pernah mendapatkan penghargaan dari Pusat Bahasa, dan menjadi rekomendasi novel yang paling sering dibahas dalam kelas mata kuliah jurusan sastra.

Lalu, bagaimana sinopsis dan review novel tarian bumi? berikut ini sinopsis dan review Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

Sinopsis Novel Tarian Bumi

Budaya dan Cinta

Novel Tarian Bumi bercerita tentang kisah ibu dan anak yang tinggal di daerah Bali dengan budaya sistem kasta yang masih sangat kental. Kisah tentang ibu dan anak ini diceritakan secara pararel dengan alur maju-mundur.

Karakter atau tokoh yang ada dalam Novel Tarian Bumi diantaranya adalah Ida Ayu Telaga Pidada, Wayan Sasmitha, Jero Kenanga (Luh Sekar), Ida Bagus Ngurah Pidada, dan lainnya.

Ida Ayu dan Ida Bagus adalah gelar untuk seorang Brahmana, identitas yang menunjukkan kasta tinggi. Sementara Wayan dan Luh adalah identitas yang menunjukkan seorang Sudra, kasta rendah. 

Selain itu, panggilan Jero juga diberikan untuk perempuan Sudra yang kemudian menikah dengan lelaki Brahmana. Dalam hal ini bisa disebut naik kasta. Dalam kisah Tarian Bumi, Luh Sekar menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada yang kemudian ia harus mengganti namanya dengan kasta baru menjadi Jero Kenanga.

Melalui perkawinan beda kasta ini, diceritakan bahwa Jero Kenanga harus bertahan dari segala ujian yang ia alami karena menikahi lelaki yang berkasta lebih tinggi. 

Ujian tersebut berupa perbedaan sikap dari mertua, dipandang sebelah mata oleh suami, serta harus meninggalkan semua hal yang masih berhubungan dengan kasta Sudra seperti keluarga, kolega, identitas, dan lain-lain.

Pernikahan tersebut membuat Jero Kenanga dan Ida Bagus Ngurah Pidada memiliki anak perempuan yang diberi nama Ida Ayu Ngurah Pidada. Seorang anak perempuan dengan nama depan Brahmana.

Berbeda tapi juga sama, Telaga memiliki nasib seperti ibunya, yaitu mencintai seorang lelaki berbeda kasta. Perbedaannya adalah Jero Kenanga menikahi lelaki yang membuat kastanya naik, Telaga justru sebaliknya. Ia mencintai Wayan Sasmitha, seseorang yang akan membuatnya turun kasta.

Sebagaimana yang dialami Jero Kenanga, ujian bertubi-tubi juga dialami oleh Telaga, bahkan lebih rumit karena sebuah kepercayaan bahwa perempuan yang turun kasta mengikuti suami akan mengundang malapetaka.

Novel Tarian Bumi akan membawa pembaca kepada posisi perempuan yang serba salah. Selalu disalahkan dalam sebuah kejadian perubahan kasta karena cinta. 

Review Novel Tarian Bumi

Sistem Kasta

Dalam novel Tarian Bumi, pembaca akan diberikan dua alur cerita dari kedua tokoh yang merupakan ibu dan anak. Melalui novel ini, pembaca dapat menganali dan memahami terkait perbedaan kasta-kasta di Bali yang menunjukkan status sosial dan ekonomi seseorang.

Sang Ibu bersama Luh Sekar, yang kemudian nanti diganti menjadi Kenanga. Ia awalnya merupakan seorang perempuan berkasta sudra. Kasta paling rendah. Meski begitu, ia bercita-cita atau bisa dibilang terobsesi untuk menikahi lelaki dari kasta Brahmana, kasta paling atas.

Keinginannya pun terwujud. Meskipun Sang Suami tidak setia, tukang selingkuh, dan menganggapnya antara ada dan tiada, Kenanga tetap senang menjalani hari-harinya sebagai istri seorang Brahmana.

Pernikahan Kenanga dengan suaminya, Ida Bagus Ngurah Pidada, tentu saja tidak disukai oleh ibu mertuanya. Hal ini membuat Kenanga tidak diperlakukan baik oleh mertuanya.

Meski begitu, Kenanga kemudian melahirkan seorang putri yang ia beri nama Ida Ayu Telaga, atau disebutnya Telaga. Anak perempuannya itu tumbuh sangat baik dan cantik. Tapi suatu hari ia jatuh cinta pada seseorang berkasta Sudra.

Seperti ibunya, yang nekat untuk mendapatkan apa saja. Telaga akhirnya berani melepas statusnya sebagai Brahmana demi menikahi Wayan Sasmitha, seorang lelaki sudra yang miskin.

Hubungan Telaga dan ibunya menjadi renggang. Telaga bahkan tidak diterima di keluarga Wayan karena kepercayaan mereka, bahwa jika ada seorang perempuan Brahmana yang menikahi lelaki Sudra, maka keluarga mereka akan mendapatkan kesialan.

Telaga, dengan keyakinan cintanya itu, mengorbankan status dan menyerahkan semua harta yang ia miliki untuk tetap bersama Wayan. Mereka hidup miskin dan berada dibawah cibiran orang-orang.

Kedua keluarga mereka tidak ada yang menyetujuinya. Tapi Telaga dan Wayan adalah representasi dari kisah cinta anak-anak zaman sekarang. Menjungjung tinggi kebebasan dan perasaan.

Di akhir novel,diceritakan bahwa tak lama Wayan pun meninggal. Sedangkan Telaga harus tetap hidup miskin karena status sosial yang sudah ia ubah.

Adanya kepercayaan pernikahan wanita Brahmana dan lelaki Sudra yang akan membawa sial ternyata terwujud juga. Kematian Wayan disebut-sebut sebagai kesialan itu.

Tapi Telaga tetap tegap terhadap pilihan hidupnya. Ia tidak menyesali keputusannya untuk meninggalkan semua yang ia miliki, demi menikahi Wayan.

Dari cerita ini, jelas sekali bahwa penulis, Oka Rusmini, mengkritik sistem kasta di Bali yang dianggap sudah tidak relevan seiring adanya perkembangan zaman, ketika kebebasan menjadi salah satu hal yang sudah marak diperjuangkan.

Pernikahan layaknya diatur agama, tidak mengenal dari mana kastanya berasal. Perbedaan kasta menjadi problematika yang besar bagi masyarakat yang masih terkungkung oleh budaya tersebut.

Tak hanya itu, Novel ini dengan jelas juga mengkritik sistem patriarki yang masih ada di masyarakat Bali.

Sistem Patriarki

Kenanga dan Telaga secara tidak langsung memiliki kesamaan jalan hidup dan keinginan. Kenanga yang Sudra ingin menikahi Brahmana agar memperbaiki hidup. Ia tau bahwa hidup bisa lebih mudah jika Kita memiliki uang dan kedudukan.

Sedangkan Telaga yang Brahmana rela menjadi Sudra agar bisa hidup dengan seseorang yang sangat ia cintai.

Dari sini, pembaca dapat mengetahui adanya power laki-laki dalam menarik istrinya berdasarkan status sosial. Menikahi lelaki kaya, maka Kamu akan menjadi kaya. Menikahi lelaki miskin, maka kamu akan menjadi miskin.

Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.-Oka Rusmini Tarian Bumi

Perempuan di sini tidak memiliki hak dan kebebasan sendiri, dengan usaha mereka sendiri, untuk mendapatkan status sosial dan harta.

Tak hanya itu, yang paling miris adalah sistem patriarki seringkali dilanggengkan oleh sesama perempuan.

Kenanga yang awalnya seorang Sudra, dimusuhi ibu mertuanya karena menganggap anaknya tidak beruntung menikahi perempuan berkasta rendah.

Begitu pun Telaga yang dimusuhi mertuanya karena dianggap akan memberikan kesialan karena menikahi putranya yang miskin.

Ada seseorang yang mengatakan bahwa perjuangan feminis bukan hanya melawan laki-laki yang misoginis, tetapi justru adalah melawan perempuan yang melanggengkan tradisi tersebut.